Bontang. Permasalahan tidak bolehnya kapal nelayan andon dari luar Bontang yang diprotes nelayan dan masyarakat Tanjung Limau beberapa waktu lalu, akhirnya kembali berujung di meja DPRD Kota Bontang.
Puluhan perwakilan punggawa ikan dari Tanjung Limau dipertemukan Komisi Gabungan DPRD dan Pemerintah Kota Bontang, dengan perwakilan nelayan lokal yang sebelumnya keberatan akan keberadaan nelayan andon masuk di PPI Tanjung Limau, karena menjatuhkan harga pasaran ikan lokal.
Perwakilan nelayan andon, yang juga mengatasnamakan masyarakat nelayan Tanjung Limau, Syahril. Kembali menyampaikan keberatannya atas keputusan bersama antara DPRD dan Pemerintah dengan nelayan lokal Bontang tertanggal 23 September 2015. Perihal tidak diperbolehkannya kapal andon luar Bontang, untuk melakukan aktivitas bongkar muat ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Tanjung Limau.
Sebab hal itu menurutnya berdampak terhadap perekonomian masyarakat, karena kehilangan pekerjaan pasca tidak ada lagi kapal andon yang beroperasi.
Disamping itu, nelayan lokal yang sebelumnya mengajukan protes akan keberadaan kapal andon ini, dinilai tidak konsisten untuk melakukan bongkar muat di PPI Tanjung Limau, karena selalu dibongkar dirumah dan pelabuhan masing-masing nelayan.
“Kalau nelayan lokal bisa konsisten bongkar ikan di PPI, kami akan telepon sekarang juga kapal andon itu untuk tidak masuk lagi. Tapi kan kenyataannya nggak gitu? Tetap bongkar ditempat masing-masing, sementara PPI tidak dibolehkan ada kapal yang masuk. Ini merugikan sekali bagi kami. Kalau bicara aturan, ya harusnya bongkar di PPI,” ungkap Syahril.
Lain halnya dengan perwakilan nelayan lokal yang kemudian kembali menjabarkan alasan tuntutan mereka hingga akhirnya ada keputusan pelarangan kapal andon masuk di PPI Tanjung Limau.
Menurut Kadir, salah satu perwakilan nelayan, pihaknya tak pernah melarang ada kapal andon masuk ke Kota Bontang melalui PPI Tanjung Limau. Namun yang jadi permasalahan adalah harga ikan dari kapal andon sangat menjatuhkan pasaran ikan nelayan lokal, sehingga nelayan juga mendapat kerugian yang tak sedikit akibat hal itu.
“Kami sebenarnya nggak melarang kapal andon, cuma harganya yang kami persoalkan. Sebab harga ikan dari kapal andon sangat menjatuhkan harga ikan lokal. Kamipun alami banyak kerugian. Bahkan ada yang sudah tidak bisa melaut karena selalu rugi ikannya dihargai terlalu murah,” paparnya.
Walau sempat terjadi ketegangan, akhirnya permasalahan ini kembali ditengahi oleh DPRD dan Pemerintah Kota dengan keputusan kembali mengoptimalkan keberadaan PPI Tanjung Limau dan memperbolehkan kapal andon bongkar muat ikan.
Dengan catatan dalam satu hari kapal andon hanya boleh bongkar ikan maksimal sebanyak 40 ton, itu pun untuk dikirim kembali keluar Kota Bontang di Kalimantan Timur. Sedangkan untuk peredaran dalam kota, hanya diperbolehkan 1 ton per harinya.
Keputusan ini akhirnya disepakati kedua belah pihak, yang menyatakan dapat menerima hal tersebut.
Ketua DPRD Bontang, Kaharuddin Jafar, menyatakan jika kesepakatan tersebut tidak akan merugikan salah satu pihak jika dilaksanakan secara konsisten. Nelayan andon dapat terus untuk menjual ikan di Bontang dan menghidupkan perekonomian masyarakat Tanjung Limau, namun kearifan lokal tetap harus dijaga, melalui pemberdayaan nelayan lokal. Sehingga perekonomian masyarakat menurutnya dapat terus bertumbuh dengan seimbang.
“Semoga kedepan hal ini tidak lagi menjadi persoalan. Masyarakat saya harap dapat menyikapi permasalahan dengan arif dan bijak, agar tidak terjadi pertentangan sesama kita di Bontang,” jelas Kahar.
Laporan : Ahmad Syahir
Editor : Revo Adi M