Bontang. Setelah didirikannya Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Bontang berdasarkan Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 17 Tahun 2021, pemerintah Kota Bontang telah berkomitmen untuk terus memperbaiki penanganan perempuan dan anak korban tindak kekerasan, terlepas dari keterbatasan sumber daya manusia, sarana, dan prasarana.
Dan untuk mewujudkan komitmen tersebut, Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kota Bontang menggelar kegiatan Koordinasi dan Sinkronisasi Peningkatan Sumber Daya Lembaga Penyedia Layanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus Kewenangan. Kegiatan yang dihadiri dan dibuka secara resmi oleh Wakil Wali Kota Bontang Najirah tersebut dilaksanakan pada Rabu (20/9/2023) pagi, di Gedung Auditorium Taman 3 Dimensi Jalan Awang Long Bontang Baru.
Dalam sambutannya, Wakil Wali Kota Bontang Najirah meyampaikan, upaya penanganan perempuan dan anak korban tindak kekerasan sering tidak hanya berfokus pada UPTD PPA, tetapi juga dapat dilaksanakan di unit-unit pendidikan, layanan kesehatan, serta lembaga masyarakat yang fokus pada perlindungan perempuan dan anak. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Bontang merasa perlu untuk memberdayakan sumber daya manusia yang berada di unit layanan guna meningkatkan kapasitas mereka dalam pengelolaan kasus, sehingga layanan yang diberikan kepada masyarakat menjadi lebih tepat, cepat, dan terarah.
“Pemerintah berusaha menjalankan pelayanan kepada perempuan dan anak dengan menghadapi beberapa kendala di lapangan, terutama kurangnya sumber daya manusia terlatih dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Oleh karena itu, pelatihan secara berkala menjadi penting dalam mewujudkan perlindungan yang bersinergi dengan pemerintah dan mendorong partisipasi masyarakat,” ucapnya.
Ditambahkan Najirah, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang seringkali menyentuh hati masyarakat menjadi pemberitaan yang sering hadir di media sosial maupun di sekitar lingkungan kita. Salah satu penyebabnya adalah penanganan yang lambat dan kurang tepat terhadap korban, serta kurangnya perhatian dan respons dari lingkungan sekitar yang tidak peka terhadap kondisi korban. Untuk mengatasi hal ini, sangat penting bagi setiap lembaga memiliki panduan dalam mengelola kasus sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Nomor 1 Tahun 2010.
“Yang paling utama adalah menjadikan perlindungan bagi perempuan dan anak sebagai tugas bersama dan sinergi antara lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat lainnya dalam pencegahan maupun penanganan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita,” terangnya.
Najirah mengajak semua pihak untuk bersinergi dalam menjalankan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan juga Undang-Undang Perlindungan Anak. Sebagai warga negara yang baik, kita memiliki peran, salah satunya adalah menyebarkan informasi dan materi edukasi yang bermanfaat dari berbagai aspek, seperti sosial, budaya, pendidikan, agama, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.