Kaltim  

BOSF Kembali Lepasliarkan Tujuh Orangutan

Kaltim. Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) kembali lepasliarkan tujuh orangutan (Pongo pygmaeus morio), ke Hutan Kehje Sewen di Kutai Timur, Rabu, 12 Juli 2017.

Sejak pelepasliaran 2012 lalu, kini jumlah seluruh Orangutan mencapai 75 individu, dari Samboja Lestari yang menjelajah di Hutan Kehje Sewen.

“Kali ini agak istimewa, sebab yang dirilis tiga pasang ibu dan anak, serta 1 jantan besar dewasa,” ujar Chief Executive Officer (CEO) BOSF Dr Jamartin Sihite di Samboja Lestari, fasilitas rehabiltasi orangutan di Kecamatan Samboja, 45 km utara Balikpapan.

Orangutan yang dilepasliarkan tersebut bernama Abel (21 tahun) dan anak jantan Alejandro (7 tahun), kemudian Imut (19 tahun), dan anaknya, Ical (7 tahun), serta Belinda (22 tahun) dan betina Maureen (6 tahun).

“Mereka dijaga oleh pejantan Kumar, 23 tahun, yang bobotnya mencapai 108 kg,” tambah Jamartin.

Dibandingkan para betina dan anak-anaknya, Kumar memang raksasa. Seekor jantan dominan yang tidak pernah jinak. Dengan bantalan pipi (cheekpad) dan mata yang tajam, dan Kumar adalah jantan dewasa berbantalan pipi (cheekpad) berusia sekitar 23 tahun.

Dokter hewan Agus Irianto, manajer program BOSF, mengatakan, Kumar dibawa ke Samboja Lestari pada tanggal 26 Oktober 1998 saat usianya sekitar 4 tahun.

“Diselamatkan penduduk dari sekitar tambang Kaltim Prima Coal di Sangatta, Kutai Timur,” kata dokter Agus.

Sejak pertama datang, sampai akhirnya dinyatakan lulus untuk kembali ke hutan, Kumar tidak pernah dekat dengan manusia. Kemampuannya membangun sarang, mencari makanan, dan mengenal bahaya, membuat kru BOSF di Samboja Lestari yakin Kumar akan berhasil mandiri di hutan nanti.

Kisah Abel juga lebih kurang sama. Ia diserahkan oleh seorang warga desa Teluk Pandan, Sangatta, pada 21 Maret 2001. Ketika itu usianya 4 tahun dan beratnya 10,5 kg. Warga desa tersebut mengaku menangkap Abel saat orangutan kecil betina itu nyasar masuk ke ladangnya.

“Karena saat kedatangan Abel masih menunjukkan sifat liar, kami tidak memasukkannya ke Sekolah Hutan,” ungkap Agus.

Sekolah Hutan adalah program BOSF untuk mengajari orangutan berbagai keterampilan bertahan hidup mandiri di alam bebas sebagai orangutan liar. Program itu diadakan karena sebagian orangutan yang sudah lama hidup bersama manusia, atau anak orangutan yang jadi yatim karena induknya terbunuh, tidak atau belum menguasai keterampilan itu.

Bahkan orangutan betina yang sudah bunting dan kemudian beranak-pun kadang-kadang menolak bayinya.

“Seperti Imut, ia mengalami sindrom babyblues dan tidak mempedulikan Ical,” cerita Agus.

Para perawat dan dokter yang sudah berpengalaman di Samboja Lestari menghadapinya dengan tenang. Imut dan Ical dipisahkan sementara selama 8 hari. Dan ketika Imut sudah bisa mengatasi sindromnya dan naluri keibuannya muncul, Ical dikembalikan padanya.

“Kalau lihat mereka, kadang terharu. Imut itu dibawa ke kami Juli 2000 dalam kondisi diare, cacingan, dan menderita pneumonia,” kenang Agus.

Tahun 2017 ini, BOSF menargetkan melepasliarkan 100 orangutan ke Hutan Kehje Sewen, dan 100 lagi dari kandang ke pulau-pulau prapelepasliaran di Samboja Lestari. Pulau prapelepasliaran berupa kawasan hutan yang dikelilingi parit sedalam 3 meter lebih dengan lebar 5 meter yang mencegah orangutan untuk keluar dari kawasan itu.

Di Pulau 8 itu dilepaskan antara lain India, Inggrid, dan Desi, orangutan remaja. Selama di pulau itu, mereka akan dipantau terus kondisinya dan kemampuannya bertahan hidup. Seperti dikatakan Dr Jamartin, pulau pra pelepasliaran adalah tempat praktik bagi orangutan yang sudah lulus sekolah hutan dan sebagai persiapan menuju alam bebas. (*)

 

Laporan: Yulianti Basri | Antara