Opini  

Parah, Ada Kerusakan Lingkungan Oleh Pertambangan

OPINI. Pertambangan di Indonesia memang sangat banyak dan merajalela. Para pengusaha tambang terus bebas mengeksploitasi bumi dari hasil kekayaan alam di Indonesia. Dengan berlindung pada beberapa undang-undang.

Eksploitasi pertambangan ini terus meningkat setiap tahunnya. Terlebih di bidang pertambangan batu bara. Para pengusaha tambang dengan terus mengeksploitasi kekayaan hasil alam hingga sampai suatu saat sumber alam di daerah itu tidak lagi berproduksi atau ‘habis’.

Pertanyaan yang muncul ialah apa yang akan dilakukan setelah pertambangan selesai dan apa upaya yang dilakukan untuk mengembalikan hutan yang telah menjadi pertambangan ‘bekas’?

Pasti ada pengaruh kerusakan lingkungan terhadap aktifitas pertambangan yang ada di Indonesia terkhusus di daerah yang dikenal sebagai daerah tambang seperti di Kalimantan.

Dipublikasikan oleh pontianak.tribunnews.com, bahwa ada 9 dampak lingkungan yang terjadi saat pertambangan dan pasca pertambangan yang diungkapkan oleh manajer kampanye Walhi, Edo pada Senin, 7/9/2015 silam, diantaranya:

  1. Perubahan bentang alam dengan teknik open pit (bukit menjadi daratan bahkan menjadi kubangan air, aliran sungai terputus bahkan menjadi kering).
  2. Menyebabkan kekeringan lahan pertanian karena sumber air dikuasai oleh perusahaan tambang, dan juga pengaruh debu yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan.
  3. Erosi semakin meningkat karena berkurangnya areal resapan air.
  4. Pencemaran terhadap aliran sungai, baik karena sedimen maupun limbah beracun;
  5. Struktur tanah menjadi labil dan bisa menyebabkan terjadinya longsor.
  6. Berkurangnya areal resapan air, juga bisa menyebabkan banjir pada saat musim penghujan.
  7. Berkurangnya populasi dan habitat satwa-satwa endemik karena kerusakan ekosistem kawasan dan degradasi kawasan hutan.
  8. Pencemaran oleh limbah beracun juga sangat tinggi di titik lokasi pembuangan tailing untuk pertambangan mineral sedangkan untuk pertambangan batubara pada proses distribusi dan sangat rentan mencemari sungai, muara sungai dan laut.
  9. Menyisakan lahan kritis pasca perusahaan tambang selesai beroperasi.

Juga dikutip dari mongabay.co.id beberapa hasil undang-undang yang baik yaitu hak atas lingkungan yang sehat dan baik tertuang dalam Pasal 28H UUD 1945, Pasal 9 Ayat (3) UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 65 Ayat (1) UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sehingga, negara (pemerintah) dan pelaku usaha wajib untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak tersebut.

Dari penjelasan di atas bahwa memang dampak kerusakan lingkungan itu ada terhadap pertambangan yang dilakukan. Terlebih jika pertambangan ini tidak lagi dibuat kembali dan direklamasi untuk penanganannya.

Dari data lain yang ada dan dikutip dari beritagar.id, bahwa dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradharma Rupang, mengatakan lubang bekas galian tambang di Kaltim saja terus memakan korban dalam tujuh tahun terakhir. Jumlahnya mencapai 32 jiwa, 27 di antaranya adalah anak-anak.

Itu baru di Kalimantan Timur yang tercatat. Dengan data itu saja sudah membuktikan bahwa kurangnya antisipasi pascapenambangan dengan tidak melakukan reklamasi bekas pertambangan.

Nah, dengan begitu jika saja pemerintah tanggap terhadap masalah ini, maka akan membuka ruang diskursus bagi para pemerhati lingkungan untuk mencarikan solusi dari masalah tersebut. Jika iya, maka apa?

Penulis: N Yahya Yabo