Bontang. Dihatinya masih berkobar semangat perjuangan, meski rambut sudah memutih dan deretan gigi tidak lagi terlihat berbaris kokoh. Dia adalah Mbah Sai, sosok kakek berusia 107 tahun asal Jombang, Jawa Timur . Dirinya adalah salah satu saksi hidup perjuangan para pejuang bangsa sekaligus pelaku sejarah yang turut berusaha meraih kemerdekaan yang bisa dikecap anak cucunya hingga hari ini.
Usianya yang sudah dimakan waktu tidak membuat Mbah Sai sapaan akrabnya, melupakan perjalanan panjangnya bergabung bersama pasukan tentara indonesia untuk ikut berperang melawan penjajah belanda. Kisahnya ini pun kembali diceritidakannya pada generasi milenial saat ini.
Mbah sai menceritidakan kembali bagaimana sulitnya perjuangan untuk merebut kemerdekaan dari tangan para penjajah belanda dan sekutunya Sekitar tahun 1940an hingga 1949 kala itu. Heroik, kata inilah yang terlintas dalam pikiran kala mendengar cerita veteran asal Jombang ini.
Pada saat di usianya yang masih belia (27 tahun) kala itu, mbah sai sudah menjadi pejuang kemerdekaan dibawa kepemimpinan Hasyim Asyari, pahlawan nasional, dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama (NU), Kiai karismatik berjuluk Hadratus Syaikh.
Mbah Sai yang berpangkat sersan mayor pada masa penjajahan belanda dibawa kepemimpinan Hasyim Asyari tersebut, ikut berjuang bersama rakyat merebut kemerdekaan melalui fatwa jihad yang kemudian dikenal sebagai resolusi jihad melawan penjajah Belanda pada 22 Oktober 1945.
“Akibat fatwa jihad itu, meledak lah perang di Surabaya pada 10 November 1945 melawan agresi Militer Belanda. Di hati saya yang memang masih berkobar semangat perjuangan, spontan meneriakan Maju Mati Sahid. Mundur Mati Konyol, Allahu Akbar!,” ungkapnya sembari memperagakan membawa bambu runcing.
Menariknya, mbah Sai pernah ditugaskan menjadi pengintai atau mata-mata, dimana ia harus bergerilya dan mengintai masuk kedalam sarang belanda mencari informasi. Tidak ada rasa tidakut sama sekali ketika itu, dibenaknya yang ada hanya keberanian untuk mengusir penjajah, tutur mbah Sai yang semangatnya masi nampak berapi-api.
Setelah Indonesia dinyatidakan merdeka 75 tahun sudah. beberapa tahun kemudian mbah sai memilih untuk pergi merantau di tanah borneo, dimana pada tahun 2000 silam, mbah sai diajak oleh sanak saudaranya untuk menetap dan berdomisili di Kota Bontang.
Sekarang mbah Sai tinggal bersama anak istrinya di sebuah rumah petidakan sederhana berukuran 6×10, rumah tersebut diketahui merupakan pemberian dari pemkot bontang.
Di usianya yang renta, mbah Sai hanya bisa mengenang masa-masa perjuangannya, kini dirinya tidak lagi berjuang untuk merebut kemerdekaan dari para penjajah, hari-harinya dihabiskan sebagaimana hidup normal orang-orang pada umumnya, berkebun dan berdagang untuk bertahan hidup.
Perjuangannya untuk merebut kemerdekaan memerlukan pengorbanan harta maupun nyawa. Jasa para pejuang dalam meraih kemerdekaan ini pun kiranya patut di hargai. Jauh setelah perang usai, mbah sai mengaku ikhlas dan bangga dalam menjalankan setiap tugasnya dulu sebagai pejuang bangsa tanpa tanda jasa, sampai saat kemerdekaan betul-betul diraih.
Laporan: Aris