Tenggarong. Sekelompok masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Transparansi Pilkada (Mantik) Kutai Kartanegara melakukan aksi unjuk rasa di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kutai Kartanegara, Tenggarong. Aksi ini dipicu oleh temuan penyalahgunaan kartu identitas di aplikasi Sistem Informasi Pencalonan (Silon) KPU Kutai Kartanegara oleh oknum tim pasangan calon independen AYL-AZA, yang menggunakan kartu identitas tersebut sebagai syarat pencalonan.
Koordinator Mantik Kukar, Hasran, menyampaikan beberapa tuntutan utama mereka. Pertama, mereka menuntut keterbukaan dari KPU terkait pencatutan nama dan dokumen masyarakat dalam data dukungan salah satu pasangan calon independen. Kedua, mereka meminta pengawasan yang tegas dan profesional dari Bawaslu Kutai Kartanegara dalam verifikasi data dukungan pasangan calon. Selain itu, mereka juga meminta Kepolisian Resor Kutai Kartanegara untuk menindaklanjuti secara hukum tindakan pemalsuan dan penyebaran data masyarakat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
“Kami menuntut KPU dan Bawaslu untuk menolak pencatutan dukungan terhadap warga di Kutai Kartanegara yang KTP-nya diambil tanpa sepengetahuan pemiliknya,” tegas Hasran.
Selama aksi tersebut, para pengunjuk rasa melakukan konsolidasi dialog permasalahan bersama anggota komisioner KPU dan Bawaslu Kutai Kartanegara. Dalam dialog tersebut, Hasran meminta transparansi data dari KPU sebagai penyelenggara pemilu. Pasalnya, beberapa warga yang masuk tidak diperkenankan untuk mengakses atau melakukan pengecekan data pribadinya di KPU.
“Kami juga meminta KPU dan Bawaslu untuk melakukan transparansi terkait persoalan data-data yang masuk, warga yang tercatat KTP-nya di KPU harus diperlihatkan kepada masyarakat yang bersangkutan.”
Hasran mengungkapkan bahwa sudah ada 66 data yang mereka terima sebagai bentuk pencatutan dalam dukungan yang tersebar di Kecamatan Loa Kulu, Tenggarong, dan Kecamatan Sebulu.
“Data yang saya terima dua hari yang lalu sudah mencapai 66, dan kemungkinan ratusan atau bahkan ribuan lagi yang belum kami terima,” ujarnya.
Menanggapi tuntutan tersebut, Plh Ketua KPU Kutai Kartanegara, Rahman, menjelaskan bahwa untuk mendapatkan transparansi data yang diminta, pihaknya memerlukan surat permintaan resmi dari pihak yang bersangkutan.
“Ada formulir B1 KWK yang bertanda tangan, namun kami merasa tidak pernah membubuhi tanda tangan dan mengirim formulir tersebut,” jelas Rahman.
Rahman juga menyampaikan apresiasi atas adanya aksi tersebut, yang dianggap sebagai bentuk kepedulian terhadap demokrasi dan dorongan untuk pemilu yang bersih di Kutai Kartanegara.
“Kami akan menerima tuntutan aliansi, tetapi ada mekanisme dan tata cara yang perlu diselesaikan lebih dulu,” kata Rahman. “Ini bukan akhir dari silaturahim, tetapi langkah awal mendorong demokrasi di Kutai Kartanegara.”
Aksi unjuk rasa ini berlangsung kondusif dan mendapat pengawalan dari pihak kepolisian. Dikonfirmasi secara terpisah Akademisi Fakultas Hukum (FH) Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta), La Ode Ali Imran, memberikan penjelasan mendalam terkait pemalsuan dokumen, khususnya dalam pencatatan KTP dan tanda tangan palsu yang sering terjadi dalam proses pemilu. Menurut La Ode Ali Imran, pemalsuan dokumen dapat dijerat dari dua aspek hukum.
“Posisinya pemalsuan ini ada dua hal yang bisa dijerat: yang pertama, produksinya atau pembuatannya dokumennya dia palsu. Yang kedua, dokumen palsu ini telah digunakan,” jelasnya.
Dalam konteksnya, meskipun belum diketahui siapa yang memproduksi atau membuat dokumen palsu, telah diketahui bahwa dokumen tersebut telah digunakan oleh salah satu pasangan calon perseorangan, yang mana membuat pasangan calon tersebut dinyatakan lolos verifikasi administrasi dalam rapat pleno hasil verifikasi administrasi.
“Hari ini kita sudah tahu siapa yang menggunakan, yaitu paslon perseorangan yang menyerahkan data ini ke KPU sebagai syarat dukungan,” ungkapnya.
Menurutnya, penggunaan dokumen palsu dalam proses pemilu telah terjadi dan harus ditindaklanjuti oleh pihak berwenang.
“Tinggal bagaimana ketajaman daripada pengawas pemilu sebagai aparat penegak hukum pemilu,” tambahnya.
Permasalahan ini menunjukkan pentingnya pengawasan ketat dalam setiap tahap proses pemilu untuk memastikan integritas dan keadilan dalam pemilihan umum di Indonesia. Pengawasan yang efektif dari aparat penegak hukum pemilu sangat diperlukan untuk menangani kasus-kasus pemalsuan dokumen dan menjaga kepercayaan publik terhadap proses pemilu.