Jakarta. Draft revisi UU nomor 33 tahun 2004, tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, kini tengah digodok tim perumus UU di Kementerian Keuangan. Dan dalam waktu dekat, akan segera diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Dalam penyusunan draft revisi UU tersebut, tim perumus memutuskan untuk menggunakan hak diskresi gubernur, dlaam membagi alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) sektor migas di daerah pemerataan.
Dikatakan Kepala Seksi (Kasi) Alokasi DBH Kementerian Keuangan, Bambang, draft revisi UU nomor 33 tahun 2004 yang tengah disusun pihaknya, Gubernur akan mendapatkan diskresi untuk membagikan 12,5 persen alokasi DBH, untuk seluruh kabupaten/kota yang ada dalam provinsi daerah penghasil migas, dan berstatus sebagai daerah bukan penghasil dan pengolah migas.
“Sebab selama ini kewenangan untuk membagi alokasi DBH migas, sepenuhnya berada ditangani kementerian keuangan. Makanya dengan revisi ini, akan menjadi hak diskresi Gubernur,” katanya.
Namun begitu, diskresi nantinya akan mengacu pada beberapa indikator. Diantaranya luas wilayah, jumlah penduduk, serta lokasi pengolahan hasil eksploitasi sumber daya alam.
Menanggapi itu, Walikota Bontang Neni Moerniaeni, mengaku sangat mendukung masuknya nomenklatur daerah pengolah migas dalam revisi UU nomor 33 yang disiapkan Kementerian Keuangan, untuk dibahas dalam Prolegnas tahun 2018.
“Kami berharap pengakuan nantinya bisa berdampak signifikan pada penerimaan DBH Migas Bontang, karena sebagai daerah pengolah memiliki risiko yang sangat besar,” ucap Neni.
Sementara, pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman Samarinda, selaku penyusun naskah akademik, Aji Sofyan Effendi, menilai wacana diskresi gubernur tersebut, berpotensi menimbulkan konflik dari seluruh daerah pemerataan.
Mengingat formula yang dibuat Kemenkeu menyebutkan, jika alokasi DBH bagi daerah pengolah akan diambil dari pos anggaran untuk daerah pemerataan. Sehingga, besar kemungkinan alokasi DBH yang akan diterima daerah pemerataan, akan mengalami pengurangan cukup signifikan.
“Kondisi ini nantinya bisa menimbulkan kecemburuan dengan daerah lainnya,” kata Aji.
Sesuai ketentuan UU nomor 33 tahun 2004, porsi DBH migas untuk pusat sebesar 69,5 persen, dan provinsi daerah penghasil migas 30,5 persen. Selanjutnya, jatah 30,5 persen daerah penghasil migas dibagi tiga, meliputi provinsi 12 persen, kabupaten/kota penghasil 6 persen, dan sisanya 12,5 persen untuk pemerataan rata kepada seluruh kabupaten/kota dalam provinsi tersebut.
Dengan demikian, jika mengacu pada draft revisi UU 33 yang tengah disusun, Bontang sebagai daerah penghasil sekaligus pengolah migas tidak lagi mendapat besaran DBH seperti kabupaten/kota yang bukan penghasil dan pengolah migas. Namun akan mendapatkan porsi yang lebih besar jika revisi tersebut disahkan.(*)
Laporan: Sary