Jakarta. Perhelatan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 memang belum usai sepenuhnya, namun sebagian data riil hasil rekapitulasi KPU sudah mulai bertebaran di berbagai jejaring media. Banyak dari caleg terpilih menurut data hasil pleno pada tingkat kecamatan dan kabupaten sudah mendeklarasikan kemenangan, dan masih banyak juga yang menunggu dan melakukan gugatan di Mahkamah Konstitusi.
Rentetan Pemilu 2024 tidak hanya sampai di situ saja. Tahun 2024 bisa disebut sebagai tahun perang politik yang paling melelahkan sepanjang sejarah pemilu di Indonesia berlangsung. Meskipun hasil pileg dan pilpres belum diumumkan KPU secara resmi, arena pilkada sudah mulai dipanasi oleh petarung yang hendak maju, terutama oleh mereka yang terpilih sebagai anggota legislatif baru-baru ini.
Bagi sebagian mereka yang bertarung di pileg, hasil pileg adalah penentu, karena pileg adalah arena tempat berhitung untuk perang selanjutnya, yakni pilkada. Partai-partai pemenang sudah mulai angkat senjata dan mengibarkan bendera perang sejak mengetahui hasil pileg. Hasil suara pileg bagi mereka adalah amunisi. Tanpa itu semua, mereka akan sulit mengambil langkah dan posisi strategis di dalam koalisi pada pilkada mendatang.
Merujuk pada Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024, pilkada kali ini diselenggarakan pada 24 – 26 Agustus (pengumuman pendaftaran pasangan calon), 27 – 29 Agustus (pendaftaran pasangan calon), 27 Agustus – 21 September (penelitian persyaratan calon), 22 September (penetapan pasangan calon), 25 September – 23 November (pelaksanaan kampanye) hingga 27 November 2024 (pelaksanaan pemungutan suara).
Yang Luput dari Pemilu
Permasalahan yang sedang terjadi dan luput dari pemilu hari-hari ini adalah tentang pelaksanaan waktu pilkada yang bertabrakan dengan jadwal pelantikan legislatif, sehingga menimbulkan kebingungan bagi mereka yang hendak maju.
Di satu sisi, Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada menyatakan bahwa bagi calon kepala daerah yang mengikuti pilkada harus menyatakan secara tertulis pengunduran dirinya sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pilkada. Namun di sisi lain, menurut putusan MK Nomor 12/PUU-XXII/2024, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa terkait status calon anggota DPR, DPD, dan DPRD terpilih sesungguhnya belum melekat hak dan kewajiban konstitusional pada dirinya yang berpotensi dapat disalahgunakan oleh calon legislatif terpilih yang bersangkutan.
Sehingga, menurut putusan tersebut, bagi calon legislatif terpilih, tidak ada kewajiban baginya untuk mengundurkan diri apabila hendak maju sebagai peserta pilkada. Apabila berkaca pada waktu pelaksanaan, bagi calon anggota DPR dan DPD terpilih, waktu pelantikannya akan diselenggarakan pada 1 Oktober 2024.
Tanggal itu adalah tanggal ketika pilkada sedang melaksanakan waktu kampanye. Secara tidak langsung, apabila calon DPR dan DPD terpilih mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah, maka waktu pada hari ia dilantik sebagai anggota DPR/DPD, ia sedang berstatus sebagai calon kepala daerah yang sedang berkampanye. Artinya, di satu sisi ia adalah anggota DPR/DPD, di satu sisi ia adalah calon kepala daerah yang menurut Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada, tetap wajib mengundurkan diri.
Duduk di antara Dua Kursi
Seharusnya, MK memberi pemaknaan baru terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada dengan menambah frasa “caleg terpilih” demi kepastian hukum sebagai konsekuensi dari kebijakan pemilu serentak yang antara pileg dan pilkadanya terjadi pada tahun yang sama dan dalam waktu yang berdekatan dan bertabrakan.
Bagaimana mungkin akan ada seseorang yang akan dilantik sebagai legislatif tetapi di satu sisi ia adalah sebagai calon kepala daerah? Tentu itu akan berakibat pada pilkada yang tidak adil. Ketidakadilannya terletak pada status calon kepala daerah yang sedang dalam jabatan yang tentu saja tidak setara dengan calon lain. Sebab pertarungannya antara yang punya kuasa dengan yang tidak. Seperti perang antara ribuan pasukan membawa senjata lengkap dengan puluhan pasukan bertangan kosong.
Politisasi Pilkada
Alasan selanjutnya adalah agar tidak terjadi politisasi pilkada. Maksudnya adalah agar tidak terjadi perubahan terhadap jadwal pilkada. Banyak jalan menuju Roma. Begitu kalimat yang sering kita dengar. Banyak cara bagi para politisi untuk mengakali konstitusi. Begitu pula realita yang sering kita lihat akhir-akhir ini. Seolah-olah, hadirnya putusan MK Nomor 12/PUU-XXII/2024 membuat politisi yang sudah terpilih sebagai legislatif bisa begitu mudah menjadi calon kepala daerah tanpa harus mundur yang membuatnya seperti memiliki dua mandat jabatan yang tinggal dipilihnya sendiri.
Menurut isu yang beredar, ada semacam upaya untuk memajukan jadwal pemungutan suara pilkada ke September. Memang benar, isu hanyalah isu. Tetapi, debu di pelupuk mata siapa yang tahu. Isu tersebut bisa saja terjadi apabila DPR dan Presiden sebagai lembaga pembentuk undang-undang bersepakat mengubah UU Pilkada yang pada mulanya sudah resmi mengatur pemungutan suara pilkada akan dilaksanakan pada November dan diubah menjadi September.
Jangankan sekadar pelaksanaan pilkada, ketentuan mengenai syarat usia calon kepala negara saja bisa diubah dengan sekejap mata memandang. Sebab apabila benar terjadi, pilkada akan dimajukan September, maka calon legislatif terpilih tidak perlu mundur dan juga tidak akan kehilangan jabatannya sebagai anggota legislatif, sehingga ia mendapat dua pilihan kursi: apabila menang pilkada akan mendapat dua pilihan kursi, dan apabila kalah tetap duduk sebagai anggota dewan. (SUMBER: news.detik.com)